Opini – Pembelajaran Mendalam: Kesadaran dalam Belajar di Era AI dan Tekanan Akademik

Penulis: Rahmi Hayati, M.Pd (Ketua Program Studi Pendidikan Matematika dan Sekretaris LPPM Universitas Almuslim).

Opini – Di tengah derasnya arus teknologi kecerdasan buatan (AI), banyak peserta didik kini belajar bukan karena ingin memahami, tetapi karena takut tertinggal. Pembelajaran yang seharusnya menjadi proses menemukan makna, kini sering tereduksi menjadi sekadar “menyelesaikan tugas” atau “mendapat nilai”. Padahal, esensi pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran bukan sekadar menghafal pengetahuan.

Fenomena Superfisial dalam Dunia Belajar

Kita hidup di masa di mana segala sesuatu serba cepat, tugas dapat diselesaikan dengan bantuan ChatGPT, esai bisa dibuat dengan satu klik, bahkan ujian bisa dibantu algoritma. Ironisnya, kemudahan ini sering kali membuat siswa dan mahasiswa kehilangan kedalaman berpikir. Belajar menjadi aktivitas instan tanpa refleksi, dan guru kehilangan ruang untuk membangun proses berpikir yang bermakna.

Fenomena ini bukan hanya persoalan teknologi, tetapi persoalan kesadaran. Banyak pelajar kini tidak benar-benar “hadir” dalam proses belajar. Mereka ada secara fisik di kelas, tetapi pikirannya terpecah antara notifikasi media sosial dan kecemasan akademik. Belajar tanpa kesadaran ibarat membaca tanpa memahami: mata melihat, tetapi hati tak terlibat.

Menghidupkan Kembali Kesadaran dalam Belajar
Kesadaran (mindfulness) dalam belajar berarti menghadirkan diri sepenuhnya dalam proses belajar mendengar, berpikir, dan merasakan apa yang dipelajari dengan penuh perhatian. Konsep ini sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani pendidik menuntun kesadaran batin peserta didik agar mereka menjadi pembelajar mandiri dan berjiwa merdeka.

Dalam konteks modern, mindfulness dapat diterapkan melalui strategi sederhana: memberi waktu jeda refleksi setelah belajar, mengajak siswa menulis jurnal pembelajaran, atau memulai pelajaran dengan aktivitas kesadaran diri seperti “tarikan napas bersama” selama satu menit. Kegiatan ini bukan membuang waktu, tetapi menyiapkan ruang batin agar pikiran siap menyerap makna.

Dari Superfisial ke Pembelajaran Mendalam
Pendidikan abad ke-21 menuntut keterampilan 4C, critical thinking, creativity, collaboration, dan communication. Namun, tanpa kesadaran, keempat keterampilan itu akan kering dan mekanis. Di sinilah peran deep learning atau pembelajaran mendalam menjadi relevan.

Pembelajaran mendalam menekankan koneksi antara konsep, refleksi diri, dan makna sosial dari apa yang dipelajari.
Misalnya, ketika siswa belajar tentang persamaan linear, guru dapat mengaitkannya dengan persoalan ekonomi keluarga atau nilai keadilan dalam pembagian sumber daya. Saat itulah matematika tidak lagi sekadar angka, tetapi menjadi sarana memahami kehidupan. Inilah inti pembelajaran mendalam: bukan seberapa banyak yang dihafal, melainkan seberapa dalam kita memahami dan mengaitkannya dengan realitas.

Guru Sebagai Penuntun Kesadaran
Peran guru dalam era digital semakin kompleks. Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, tetapi menjadi penuntun kesadaran belajar. Guru yang mindful tidak hanya mengajarkan isi pelajaran, tetapi juga menanamkan cara berpikir reflektif dan empatik. Ia tidak sekadar menilai hasil, tetapi memperhatikan proses dan perjalanan batin siswa.

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih menempatkan hasil akademik di atas proses belajar. Nilai rapor dan ranking sering kali lebih dihargai daripada rasa ingin tahu dan keberanian bertanya. Padahal, siswa yang sadar akan proses belajarnya justru lebih siap menghadapi ketidakpastian dunia kerja dan kehidupan.

Menumbuhkan Generasi Reflektif dan Resilien
Generasi masa depan bukan hanya butuh pengetahuan, tetapi juga kesadaran diri. Mereka harus mampu berhenti sejenak di tengah hiruk pikuk informasi, merenung, dan bertanya: apa makna belajar ini bagi hidupku? Tanpa refleksi, pembelajaran hanya melahirkan “robot akademik” yang pandai menjawab, tetapi tidak peka terhadap makna.

Kesadaran dalam belajar akan melahirkan generasi reflektif, resilien, dan berempati mereka yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga dewasa secara emosional dan spiritual. Di era AI, kesadaran menjadi satu hal yang tidak bisa digantikan mesin.

Kini saatnya dunia pendidikan Indonesia bergerak dari teaching for test menuju teaching for awareness. Kita perlu mengembalikan makna belajar sebagai perjalanan batin yang membebaskan manusia dari ketidaksadaran. Karena pada akhirnya, pembelajaran sejati bukan tentang siapa yang tercepat, tetapi siapa yang paling sadar dalam setiap langkahnya.